Sabtu, 01 Oktober 2011


Study Kasus:
Ancaman Terhadap Agroekosistem Akibat Penambangan Bijih Timah di Bangka Belitung

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengaku prihatin atas kondisi kerusakan lingkungan dampak dari maraknya aktifitas tambang biji timah di wilayah Kepulauan Bangka-Belitung. "Kondisi kerusakan lingkungan di Provinsi Bangka-Belitung akibat kegiatan tambang timah sudah sangat parah. Tidak hanya daratan, kini laut pun ditambang. Untuk itu kita sangat prihatin," tuturnya.
Saat ini, Kementerian LH bersama kementerian terkait sedang membuat strategi penanganan dampak kerusakan lingkungan akibat tambang di wilayah yang kerap dijuluki "Laskar Pelangi" tersebut. "Bersama kementerian terkait akan kita cari solusi bagaimana penanganan dampak kerusakan lingkungan disana," bebernya.
Sebelumnya, organisasi Walhi Bangka-Belitung terus menyoroti ancaman kerusakan lingkungan akibat gencarnya eksploitasi biji timah ini. Aktifitas penambangan timah di kawasan pesisir menggunakan kapal isap (keruk) telah berdampak pada terjadinya kerusakan ekosistem laut dan juga  berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Terjadinya sedimentasi menyebabkan terumbu karang tertutup lumpur dan mati. Adanya penambangan timah di laut membuat terjadinya perubahan topografi pantai dari yang sebelumnya landai menjadi curam.
Hal ini akan menyebabkan daya abrasi pantai semakin kuat dan terjadi perubahan garis pantai yang semakin mengarah ke daratan. Saat ini 50% terumbu karang di Provinsi Bangka Belitung rusak akibat sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan timah di perairan. (DY/OL-3)
          (sumber: Media Indonesia.com, Denny Saputra 20-9-2011)

Akibat exploitasi biji timah yang berlebihan didaerah bangka belitung serta rendahnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan ini, menyebabkan kerusakan yang terjadi seperti tak terkendali. Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi (Dori Jukandi, 2011). Masyarakatpun berlomba-lomba mengeruk isi bumi Babel, mengingat pekerjaan menambang ini dapat menghasilkan rupiah dalam waktu yang relatif singkat dan instan. Menurut Dori jukandi (2011) Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial.
Pembukaan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan penambangan tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem hutan dan sungai, kini bahkan telah membuat kerusakan yang parah, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35 kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai limbah (Marwan Batubara,2010).  Sehingga hampir sepanjang aliran sungai-sungai di Babel kini berwarna coklat bercampur lumpur, yang menyebabkan hilangnya sebagian besar populasi makhluk hidup di sungai dan hutan sekitarnya.
Akibat hal tersebut, ekosistem didaerah pertambangan menjadi tidak berjalan karena tidak ada interaksi antar makhluk hidup. Penurunan kualitas air menjadi penyebab tidak mampunya makhluk hidup untuk bertahan dan akhirnya mati. Tambang timah ilegal pun telah membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang kepunahan (Marwan Batubara, 2010).
Akumulasi logam berat yang bercampur dengan air sungai juga membuat ekosistem tersebut tidak mampu untuk melakukan perbaikan. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang), tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami (Dori Jukandi, 2011).
Selain perairan, hutan yang rusak akibat pembukaan lahan juga tak kalah dampaknya terhadap ekosistem. Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan. Akibat luas hutan yang rusak telah mencapai ribuan hektar, pun untuk merehabilitasinya membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni hingga 30 tahun (BR, 2010). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam (Marwan Batubara, 2010).
 Dampaknya, hasil pertanian dan kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi.

Secara tak langsung dan tidak langsung pertambangan ini telah mengancam keseimbangan agroekosistem. Penurunan kualitas air karena akumulasi logam berat, yang menjadi sumber air unntuk pengairan lahan pertanian, secara langsung mempengaruhi penurunan kualitas tanaman. Berkurangnya luas hutan akibat penyalahgunaan lahan secara tidak langsung juga menyebabkan banyak hewan-hewan yang seharusnya menjadi habitat alami hutan masuk ke lahan pertanian dan menjadi hama perusak tanaman petani, sehingga musuh petanipun semakin banyak.
Penambang timah di Babel ini pada umumnya merupakan penambang illegal yang tidak memiliki izin usaha. Akan tetapi, penambang nakal ini seperti dibiarkan saja tanpa adanya ganjaran hukum, sehingga tak heran jika jumlah produksi penambang illegal ini mendekati hasil pertambangan yang memiliki izin.  Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama dalam bentuk royalti dan pajak (Marwan Batubara, 2010), sehingga dapat kita bayangkan kerugian daerah akibat kegiatan ini.
Selain merusak agroekosistem di sekitarnya, kini bahkan dampak penambangan ilegal sekarang sudah berimbas terhadap perubahan iklim didaerah Babel. Sejak maraknya penambangan illegal timah, kini setiap musim kemarau di Babel terasa semakin kering dan panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau (Dori Jukandi, 2011). Akibatnya, ketika Bangka Belitung mengalami kekeringan pada musim kemarau, hasil pertanian mereka pun menurun. Sehingga banyak petani yang beralih profesi menjadi penambang sehingga lahan pertanian pun terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan beberapa kawasan tererosi dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi sedimentasi yang tinggi, terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota perairan (Marwan Batubara, 2010).
Selain di daratan, daerah laut pun tak luput dari aktifitas penambangan timah ini. Berdasarkan data dari ANTARA (2010), Sekitar 70 persen dari 122.000 hektare hutan bakau di provinsi itu mengalami rusak akibat aktivitas penambangan timah . Sehingga kerusakan hutan bakau ini dapat berimbas terhadap berkurangnya perkembangbiakan biodata laut seperti kepiting dan udang. Reklamasi kerusakan di laut akibat penambangan hingga kini sulit dilaksanakan secara maksimal (Syamsudin Basari, 2010).
Tapi di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar berpangkal dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor, cukong-cukong dan oknum penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan. Umumnya mereka bermental KKN, manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan (Marwan Batubara, 2010).
Namun mereka tidak menyadari betapa banyak dampak kerusakan dalam lingkungan, pertanian terutama terhadap rakyat yang timbulkan olehnya, seperti: (1) Lahan yang  tidak beraturan, (2) kesuburan lahan, tekstur dan struktur tanah hilang, (3) kualitas air keruh dan tidak subur, (4) lahan menjadi terbuka akibat hilangnya vegetasi, serta (5) ketersediaan tanah pucuk (top soil) minim (fppb UBB, 2010)
Untuk menanggulangi dampak yang berkepanjangan akibat penambangan bijih timah ini, Sebenarnya terdapat beberapa pilihan yang bisa dilakukan. Seperti memanfaatkan kolong (lubang bekas pertambangan) sebagai kolam pengembangan dan budidaya perikanan, membuat usaha tanaman kayu keras di lahan terbuka bekas penambangan, serta banyak hal lain yang bisa kita gunakan untuk memanfaatkan sekaligus merehabilitasi lahan eks tambang timah ini.

 Daftar Pustaka
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/09/20/261120/89/14/-Menteri-LH-Prihatin-Kerusakan-Akibat-Tambang-Timah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar