Indonesia Mengimpor Garam
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang
keempat di dunia dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer (ANTARA
News). Namun
sayang, meskipun memiliki potensi yang cukup besar sebagai produsen garam,
Indonesia masih harus mengimpor komoditas ini untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. “Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang pesisir
hampir 90.000 km yang cukup berpotensi dalam menghasilkan bahan baku garam.
Namun, cukup disayangkan kita masih harus mengimpor sekitar 70% garam dapur
atau setara 1,63 juta ton untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri,” kata
Guru Besar Sosek Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof.
Mochammad Maksum Machfoedz.
Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menegaskan, pemerintah RI terpaksa
melakukan impor garam untuk memenuhi kebutuhan lokal. Kebijakan ini dilakukan
akibat produksi garam lokal masih belum tercukupi. Meski demikian, impor garam
ini akan dibatasi. “Impor garam dilakukan dalam kurun waktu tertentu sambil
menunggu panen raya,” katanya. Menurut dia, impor garam dilakukan berdasarkan
hasil kesepakatan empat menteri, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian
Koordinator Perekonomian. “Dalam kesepakatan yang telah dibuat, kami memutuskan
untuk menyetujui impor garam sebanyak 500.000 ton. Pada impor garam ini, nantinya
untuk memenuhi kebutuhan hingga Juli 2012,”ungkapnya.
Akan tetapi,
APGI menyatakan keberatan dengan rencana kebijakan itu, dan organisasinya
memandang perlu untuk mengeluarkan nota keberatan terhadap semua pihak yang
terlibat. Bahkan juga menuding kebutuhan garam sebagai legitimasi impor garam
2012 itu sebagai bentuk permainan. "Dasar pertimbangan atas sikap kami
tersebut adalah fakta-fakta hukum perundang-undangan yang telah ada," kata
Gada Rahmatullah.
Pertama, kata
dia, bahwa impor garam telah diatur melalui Permendag 20/M-DAG/PER/9/2005 Jo.
Permendag 44/M-DAG/PER/10/2007 tentang Ketentuan Impor Garam. Harga garam juga
telah diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No.
02/DAGLU/PER/5/2011, dan faktanya semua Importir Produsen (IP) Garam Iodisasi
melakukan pembelian garam produksi tahun 2011 dibawah Harga Penetapan
Pemerintah (HPP).
"Sesuai
dengan ketentuan itu harga garam rakyat di tingkat pengumpul /Collecting Point
(kondisi curah diatas truk) seharusnya untuk KP1 minimal Rp750/Kg dan KP2
minimal Rp550/Kg," kata dia. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan APGI
ialah terjadi kesimpangsiuran data mengenai jumlah produksi garam rakyat tahun
2011 dimana masing-masing kementerian terkait memiliki data yang berbeda. Termasuk,
sambung Gada, data mengenai jumlah kebutuhan garam konsumsi, Kementerian
Perdagangan mengatakan bahwa kebutuhan garam konsumsi 120.000 ton perbulannya
maka berarti kebutuhan garam konsumsi untuk 1 tahun adalah 2,4 juta ton
(padahal kebutuhan garam konsumsi, menurut kementerian yang lain, hanya 1,4
juta ton/tahun).
Direktur
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa izin
impor akan dikeluarkan setelah semua garam produksi petani telah terserap oleh
importir produsen (IP) garam Iodisasi. Padahal stok garam milik petani yang
tergabung adalam Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) masih 10.000 ton sampai
saat ini belum terserap oleh IP Garam Iodisasi. Paguyuban Petani Garam Rakyat
Sumenep (Perras) masih memiliki stok 15.000 ton. Belum lagi, kata Gara
Rahmatullah, petani garam yang memang selalu menyimpan minimal 30 persen dari
hasil panennya untuk digunakan sebagai biaya hidup dimusim penghujan dan
persiapan biaya produksi tahun 2012.
Beberapa
waktu lalu, Kementerian Perindustrian memutuskan untuk menyusun peta jalan
pergaraman nasional guna mendukung swasembada garam industri dan konsumsi. Menteri
Perindustrian M. S. Hidayat mengatakan peta jalan tersebut mencakup aspek
ekstensifikasi dan intensifikasi, dan harus melibatkan seluruh pemangku
kepentingan. “Masih banyak permasalahan di industri garam domestik. Umumnya,
petani garam belum mampu memproduksi garam dengan kualitas baik karena lahan
mereka kecil-kecil, hanya 3-5 hektar,” jelas Menperin. Di samping itu, jelas
menperin, infrastruktur di sentra produksi di Jawa, Madura, Nusa Tenggara, dan
Sulawesi Selatan, belum memadai sehingga produktivitas petani masih rendah.
Kondisi tersebut juga menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.
Dikutip dari: Berbagai Sumber